oleh

Menjaga Martabat Kemerdekaan Pers

-Nasional-955 views

 

(Acikepri.com). Lahirnya undang- undang pers no 40 tahun 1999, membuat para kuli tinta, di seluruh pelosok daerah Republik Indonesia , bernafas lega. Adanya jaminan, keamanan dalam melaksanakan tugas- tugas jurnalistik, memberi semangat baru bagi kalangan wartawan. Bahkan, semangat itu kian memuncak seiring berjalannya waktu.

BAB II ASAS, FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN PERANAN PERS, pasal 2 menyebutkan, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Berkaca dari pasal ini, sejatinya profesi pers di junjung tinggi, karena mengatas namakan rakyat.

Namun, di era kecanggihan teknologi, kemerdekaan pers mulai di salah gunakan. Mencari duit bermodal kartu pers, dengan cara tak patut, jadi primadona. Akibatnya, sebutan untuk profesi wartawan di kalangan masyarakat bermunculan. Diantaranya, wartawan berlabel CNN alias Cuman Nanya- Nanya. Wartawan CIA alias Cuma Intip Amplop. Wartawan WTS alias Wartawan Tanpa Surat Kabar. Paling populer, Wartawan Plagiat atau Copy Paste pemberitaan.
Tentu, problema ini bakal membuat profesi jurnalis kehilangan kepercayaan publik. Sejatinya, wartawan itu menulis dan menciptakan karya-karya jurnalistik, demi kepentingan khalayak ramai. Pers harus pada tupoksinya yaitu kontrol sosial. Melihat masalah dengan sudut pandang berbeda. Mengkritisi tapi harus membangun dan memberi solusi, bukan menjatuhkan. Memberi edukasi, bukan politisasi.
Data Dewan Pers mencatat ada sekitar 43.000 pertumbuhan media online di seluruh indoensia. Sebuah capaian fantastis dari sisi industri “star up tecnologi”. Lalu, bagai mana seorang wartawan bisa di akui sebagai jurnalis sejati?. Pertanyaan ini mengingatkan kita, akan ucapan mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan, pada kuliah umum di Auditorium Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta Selatan, Selasa 18 Desember 2012 lalu. Kegiatan Uji Kopetensi Wartawan hadir sebagai tolak ukur masyarakat, menilai, apakah wartawan itu profesional atau tidak.
Disinilah peranan penting kegiatan Uji Kompetensi Wartawan. Sehingga dalam melakukan tugas- tugas jurnalistik, semua sesuai koridor. Perlahan tapi pasti, citra wartawan di kalangan masyarakat pasti membaik, sesuai harapan Dewan Pers.
Meski hal itu menjadi solusi menjaga martabat kemerdekaan pres, nyatanya, Dewan Pers masih bergumul agar wartawan di seluruh pelosok negeri profesional. Himbauan, agar seluruh organisasi dan perusahaan pers, dapat malakukan Uji Kompetensi wartawan sesuai standart Dewan Pers, melalui lembaga penguji yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), atau Lembaga Penguji Dr. Soetomo (LPDS), terus berkumandang. Oleh karnanya, pihak perusahaan dan wartawan, juga harus menjemput bola, artinya tidak santai dalam urusan menjaga martabat kemerdekaan pers.
Kemudian, pemerintah juga harus berperan aktif dalam melakukan pembinaan terhadap wartawan. Karena tidak dapat di pungkiri, Pers merupakan bagian dari pilar demokrasi. Pembinaan itu dapat berupa pertemuan rutin Kemenkominfo dengan sejumlah organisasi Pers di seluruh Indonesia. Di sana, pemerintah dan organisasi pers, tempat bernaungnya para rekan- rekan kuli tinta atau pemilik perusahan dapat bertukar pikiran atas persoalan masing- masing. Bukan hanya Kemenkominfo, tapi seluruh K/L/D/I terkait.
Pihak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indoensia juga harus turut andil, mengawasi jalannya UU Pers no 40 tahun 1999. Pengawasan itu, dapat berupa monitoring, keberadaan perusahaan pers, baik lokal, nasional, bahkan internasional. Sinergisitas harus terus di bangun, karena itulah hakekat sesungguhnya menjaga martabat kemerdekaan pers. Sehingga informasi publik yang di sajikan, bukan Hoax dan SARA, seperti santer terjadi belakangan ini. Rianto saut halomoan sianiapar

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *