Natuna – Isu dugaan gratifikasi kembali mencuat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Natuna.
Sorotan publik kini mengarah pada Bupati Cen Sui Lan, menyusul temuan mencurigakan terkait renovasi ruang kerja pimpinan daerah dan pengadaan perabotan mewah yang diduga kuat tidak melalui prosedur hukum maupun administrasi yang sah.
Investigasi media ini menemukan tidak adanya kontrak resmi antara Pemkab Natuna dengan pihak ketiga dalam pelaksanaan renovasi gedung daerah, khususnya ruang kerja Bupati dan Wakil Bupati.
Meski begitu, renovasi tetap dilakukan menggunakan jasa tukang lokal, yang disebut-sebut atas instruksi langsung dari seorang pengusaha asal Kota Ranai.
Pertanyaan krusial pun muncul: siapa yang mendanai proyek ini, dan atas dasar apa pekerjaan tersebut dijalankan tanpa mekanisme resmi?
Lebih jauh, pada 6 Maret 2025, pengiriman sejumlah perabotan baru untuk melengkapi ruang kerja pimpinan daerah terpantau dilakukan menggunakan kapal Bahtera Nusantara.
Namun hingga saat ini, Kepala Bagian Umum dan Sekretaris Daerah Natuna mengaku tidak mengetahui asal-usul maupun dasar pengadaan barang-barang tersebut. Tidak ditemukannya dokumen pengadaan memperkuat dugaan bahwa perabotan tersebut bukan bagian dari belanja resmi melalui APBD.
Jika perabotan dan renovasi tersebut terbukti berasal dari pihak luar, maka muncul indikasi kuat bahwa Bupati Cen Sui Lan telah menerima gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
UU tersebut menyatakan bahwa setiap gratifikasi yang bernilai Rp10 juta atau lebih kepada penyelenggara negara dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya.
Lebih lanjut, Pasal 12C UU Tipikor mengatur bahwa setiap gratifikasi wajib dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu paling lambat 30 hari kerja sejak diterima. Namun, hingga berita ini diterbitkan, tidak terdapat laporan gratifikasi yang disampaikan oleh Bupati Cen Suilan kepada KPK.
Menanggapi situasi ini, pengamat hukum dan praktisi hukum, Jirin, menyatakan bahwa unsur gratifikasi harus dibuktikan secara menyeluruh, mulai dari pemberi, penerima, hingga motif pemberian.
Ia menegaskan bahwa jika pemberian tersebut tidak dilaporkan dan berkaitan dengan jabatan serta berpotensi konflik kepentingan, maka hal tersebut dapat dianggap sebagai suap.
“Kalau pemberian itu dimaksudkan untuk memengaruhi keputusan atau tindakan pejabat terkait tugas dan kewajibannya, maka itu sudah masuk kategori tindak pidana korupsi,” tegas Jirin saat dikonfirmasi, Rabu, 2 Juli 2025.
Ia juga mendesak aparat pengawas dan penegak hukum untuk segera melakukan penelusuran atas seluruh proses pengadaan, penerimaan barang, serta renovasi yang terjadi di lingkungan kantor Bupati Natuna.
Kasus ini dinilai sebagai bentuk potensi pelanggaran serius terhadap prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam tata kelola pemerintahan. Jika dibiarkan tanpa klarifikasi resmi, maka publik bisa semakin percaya bahwa ada jejaring korupsi tersembunyi di lingkup Pemkab Natuna.
KPK, Inspektorat Daerah, serta aparat penegak hukum lainnya diharapkan segera mengambil tindakan konkret. Sebagai penyelenggara negara, Bupati tidak boleh dibiarkan mengaburkan batas antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi.
Redaksi akan terus mengikuti perkembangan kasus ini dan membuka ruang klarifikasi bagi pihak-pihak terkait. Tanggapan resmi dari Pemkab Natuna sangat dinantikan demi menjunjung tinggi kepentingan publik dan supremasi hukum. (Sarwanto)
Editor: Sar

Komentar